The Final Hunters
“Van, bangun, Van!” Aku membuka
mataku lalu mengangkat kepala menghadapi tatapan datar laki-laki di depanku.
Mataku mulai mengadu tatapan dengan tatapan datarnya selama detik-detik
pertama.
“Kau ngapain, sih? Kalau emosi soal
ujian praktek kemarin jangan ditumpahkan ke aku, dong.” Leon langsung mengganti
warna ekspresinya, seolah beberapa detik lalu tidak terjadi apapun. Lalu
tiba-tiba dia merentangkan lengannya, dan dengan senyum lebarnya yang terlalu santai, “Kalau masih sedih soal
terlalu lama sendiri, sini kupeluk.”
“Lebih baik aku nangis tiap malam
minggu daripada meluk kamu.” Balasku sambil melempar lirikan sinis sambil
menjengkalkan tubuhku darinya. “Lagi pula, ngaca, dong.”
“Oke, oke, santai saja.” Dia
meletakkan tangannya ke mejaku.
”Oh,
ya, lupa, Van, kamu dicari Karin. Itu dia di pintu.” Leon menambahkan, sambil
menunjuk ke gadis dengan rambut coklat bergelombangnya yang mengalir melewati
bahunya. Melihat dari tatapannya, aku bisa tahu kalau dia memintaku ikut
dengannya. Aku segera menyambar buku catatan IPA dan PKn-ku lalu
menghampirinya.
“Belajar?”
“Nggak,
mau menyapu kelas pakai kertas.”
“Oke,
oke. Aku paham. Hari ini kamu ngapain saja?”
“Nanti
pulang sekolah, persiapan untuk ujian. Masih nggak tahu sampai jam berapa.”
“Nggak
bisa datang?” tanyanya sambil menatapku dengan sedikit memohon.
“Nggak,
sibuk. Lagi pula, aku nggak mau cari masalah dengan nilai ujian akhir. Kalaupun
sekarang bukan masa ujian, aku tetap nggak bisa datang.” Ujarku sambil membalik
lembar catatan IPA-ku, mempelajarinya.
“Karena
itu?” Aku mengangguk. Tatapanku
teralihkan sesaat pada Karin yang memasang raut wajah seriusnya, “Aku nggak mau
ambil resiko dengannya. Meski hanya kenal beberapa bulan saja, tapi aku tahu,
dia berbahaya.”
“Mungkin
saja, tapi kurasa kau salah. Aku tidak merasa ada yang aneh dari Leon.”
Kalimatnya benar-benar membuatku bingung. Mau tertawa, tapi bukan saat untuk
tertawa. Mau marah, tapi ucapannya masuk akal.
“Sudahlah,
yang jelas selama masa ujian ini aku tidak mau bermain. Tugasku masih setumpuk.
Jangan ganggu aku. Katakan itu pada kembaranmu.” memasang wajah tertekuk, aku
kembali ke kelas.
“Pada
Chester? Oke. Setidaknya nanti kita pulang bersama?” tawarnya. Aku hanya
menggumam sebelum meninggalkannya.
Aku
langsung meletakkan tasku di sofa setelah masuk rumah. Sebenarnya bukan rumah,
sih, aku tinggal di apartemen sejak awal masuk sekolah. Orang tuaku sudah
menyuruhku tinggal di rumah kerabat waktu masuk sekolah, tapi aku menolak.
Aku
melihat ke sekeliling apartemenku yang sunyi. Tidak ada orang selain diriku.
Aku mulai meregangkan tubuhku, “Untung aku tidak tinggal di rumah Tante Lusi.
Kalau dia tidak tahu kalau aku sudah mulai ujian, dia bisa menjejaliku dengan
les privat.”
Bukan
benci, tapi tidak suka. Selevel lebih rendah, lah. Dia terlalu perfeksionis,
mau semuanya sempurna.
Aku masuk
ke kamarku. Tentu, sebagai murid kelas akhir, saat ujian itu adalah saat penuh
godaan. Sama seperti anak lain yang tergoda dengan gadget, akupun tergoda
dengan koper hitam di atas meja belajarku.
“Sabar,
Evan. Sabar.” Gumamku pada diri sendiri untuk tidak menyentuh kotak ‘bermain’
itu. Tapi, yah, akhirnya gagal. Kubuka kunci koper hitam itu sambil menggigit
bibir. Tanganku menyentuh gagang sniper M40 rifle yang terbaring di koper ini.
Yep, selain murid sekolah, aku punya identitas lain.
Tiba-tiba
sebuah dering telepon menarikku keluar dari pikiranku. Kakiku segera melangkah
ke ruang tengah, dan tanganku segera menyambar gagang telepon itu.
“Hai. Crimson.”
“Oke,
Chester. Ke intinya. Aku tidak bisa bekerja untuk sementara waktu.” Balasku
dengan sedikit emosi. “Kukira Karin sudah bilang padamu.”
“Ya,
aku tahu.” Terdengar bunyi desahan dari sebelah sana. “Tapi telepon ini bukan
tentang itu.”
“Sebagai
pemimpinan tim, aku harus beritahu kamu. Kita dalam kondisi bahaya sekarang.”
Lanjutnya, dengan nada terdesak.
“Bahaya
bagaimana? Apa maksud…”
“Karin
ditembak. Satu peluru bersarang di bahu kirinya. Sekarang dia sedang operasi.”
Chester memotongku. Tanganku nyaris melepaskan gagang telepon itu.
“Siapa?
Kapan dia ditembak?” suaraku mulai sedikit pecah. Karin baru saja pulang
bersamaku tadi siang. Memang aku tidak percaya, tapi bagaimana bisa….
“Siang
tadi. Setelah dia berpisah denganmu, seseorang menembaknya.” Ujarnya. Aku
hendak mendesaknya untuk menjelaskan lebih detail, tapi pecahnya kaca jendela
mengganggu percakapan kami.
“Apa
itu.”
“Seseorang
menembak jendela apartemenku.” Balasku cepat sambil bersembunyi di balik meja
telepon. Untungnya telepon rumahku adalah telepon tanpa kabel. Aku segera
membawanya masuk ke kamarku, memikirkan resiko mengalami kejadian yang sama
dengan Karin, kalau aku tetap berada di ruang tengah, yang tersambung dengan
beranda.
“Chester,
aku benci ini, tapi aku sudah diberi izin, kan?” tanganku menyabet senapan yang
sedari tadi ada di atas meja belajarku. Tapi sejak kapan sudah terisi? Padahal
sudah kupastikan senapan ini kosong waktu misi terakhir.
“Aku
tahu. Kau masih belum percaya aku, kan? Tidak apa-apa. Biar kutegaskan lagi,
sebagai tim mata-mata, kau sudah diberi izin oleh pemerintah untuk menggunakan
senjata itu hanya untuk dua hal. Misimu, dan pertahanan diri.” Chester
menegaskan, diiringi suara desahan.
Aku
segera mengarahkan senapanku keluar, lalu mengintip dari lubang bidikan. Senyum
segera membentuk bibirku ketika mataku menemukan sesosok orang di atap sebuah
gedung yang berjarak dua rumah di sebelah gedung apartemenku.
“Sudah selesai.” Ujarku sambil menarik pelatuk senapan. Orang itu tersungkur di posisi terakhirnya di mana dia menghirup udara segar.
“Oke,
itu cepat sekali.” Dari nadanya terdengar kalau dia tidak percaya.
“Yap,
dan itu pekerjaan terakhirku, kumohon. Sebelum aku libur sementara.” Aku meletakkan
senapanku kembali ke koper.
“Baiklah.
Akan kuserahkan misimu ke anggota lainnya…. Operasi Karin sudah selesai. Akan
kuberi tahukan padanya tentang ini.” Aku langsung menghela nafas lega sambil
berjalan kembali ke ruang tengah.
“Oke.” aku menutup telepon. Kemudian aku mengambil sebuah pinset, lalu
mencabut peluru yang tertanam di lantai. Yah, seceroboh apapun orang itu, tapi
dia sudah melakukan kerja bagus, dia berhasil menembakkannya dekat ke kakiku.
Untuk kebaikan, jangan pernah letakkan telepon dekat dengan jendela, pikirku
sambil berusaha mencungkil peluru itu. Dan, jangan pernah lakukan pengambilan peluru dengan tangan. Bodoh, harusnya aku tahu kalau itu sakit.
Aku
meregangkan tubuhku. Semua kerja keras selalu terbayar. Aku baru saja
menyelesaikan ujian terakhirku. Yang untungnya berjalan lancar. Tiba-tiba Karin, dengan bahunya yang masih
terlihat kaku. Dia menatapku kosong, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
“Kau
kenapa?”
“Leon
hari ini tidak masuk, ya?” tanyanya, tanpa membalas pertanyaanku dulu. Aku
mengangguk saja. Setidaknya, tanpa dia mengawasiku, aku jadi lebih tenang.
“Chester,
dia baru saja tertembak kemarin malam.” Aku
ternganga saat itu juga.
“Dan,
Leon, hari ini dia di rumah sakit, karena peluru yang ada di tubuhnya.”
Tangannya merogoh saku roknya.
“Jangan
bilang…”
“Pertama,
ya. Sesuai dugaanmu, Leon saudara kembarku. Kedua, orang yang kau bereskan
waktu itu bukan penembakku.”
“Tunggu,
nama Chester, itu dari…”
“Namanya
Leon Winchester. Win-Chester.” Dia mengeja nama Leon yang membuatku menepuk
dahi. Kenapa aku baru sadar!
“Evan,
aku perlu bantuanmu…”
“Terlambat!”
seruku sambil merundukkan badan sambil membuat Karin menunduk juga, karena
seseorang di dalam ruangan baru saja mendapatkan kepala berlubang.
“Kau
mau tahu siapa yang menembakku kemarin?” Karin mengisi pistolnya dengan gerakan
jari super tangkas. Aku menghembuskan nafas terpotong-potong setelah berlari
dari ujung ke ujung kelas hanya untuk menghindar dari serangan peluru nyasar.
“Lusi.”
Dia mengintip keluar, kemudian menarik
pelatuk pistolnya. “Orang yang kau bunuh waktu itu, dia salah satu orang
suruhan bibimu.”
“Apa?!”
Untung aku tidak setuju untuk tinggal dengannya.
“Kenapa
orang itu tidak mati-mati, sih? Sudah lima kali aku menembaknya dan aku yakin
kalau tembakanku tidak meleset.” Karin mengumpat, seolah dia tidak menghiraukan
sentakanku.
“Sebentar.
Biar kuambil sniperku. Lindungi aku untuk dua menit.” Kakiku mengambil ancang
ancang berlari, dan waktu Karin membuka mulutnya, aku langsung melompat dari
tempat sembunyi dan kembali ke tempat dudukku tadi. Wah, siapapun orang yang
menembak itu, dia cukup jago. Mejaku sekarang sudah penuh lubang. Kalau tadi
kami masih di sini, kepala kami yang berlubang, seperti anak perempuan di pojok
kelas itu. Darahnya banyak sekali.
Kusambar
koper hitam di samping tasku. Kalau ada yang tanya ini isinya apa, kujawab
biola, karena memang benar itu seperti kotak biola. Aku langsung kembali ke
tempat sembunyi kami, langsung membuka koper itu.
“Apa
yang kau lihat?” Karin mengisi pistolnya, yang tampaknya sudah beberapa kali
kehabisan peluru. Aku mengintip dari lubang sniperku, dan langsung pucat ketika
melihat apa yang ada di seberang sana.
“Tembakanmu
memang kena, beberapa kali di badannya. Dia harusnya mati sekarang, tapi tidak
akan kalau kepalanya belum hancur.”
“Apa
maksudmu?” dia memiringkan kepalanya, nafasnya tidak teratur.
“Kau
benar. Penembak kita sekarang memang Lusi, bibiku. Cuma satu. Selama ini, yang
kutahu, dia bukan zombi.” Ujarku sambil merendahkan tubuh, lalu mengisi peluru.
Mulut Karin ternganga lebar, dia tergagap dan beberapa kali gagal mengeluarkan
kata-kata.
“Beneran?”
“Gak,
bercanda!” seruku, sambil menunjuk zombie berkulit hijau muda dengan
lubang-lubang di tubuhnya yang memegang sniper. PIntar sekali dia, yah?
Comments
Post a Comment